blog.1.image
Artikel
06 Oktober 2020 02:10

Hukum Asuransi Syariah Menurut MUI

Dunia asuransi di Indonesia bisa dibilang cukup bergairah. Terlebih sejak dimulainya jasa Asuransi Syariah yang kini mulai marak diterapkan oleh berbagai perusahaan asuransi. Tak sedikit orang sekarang tengah melirik manfaat asuransi syariah yang ada di Tanah Air.

 

Namun sepak terjang Asuransi Syariah kadang masih menjadi perbincangan. Dari soal untung dan ruginya, dalil religi hingga masalah halal-haram. Hal-hal tersebut menjadi dasar pertimbangan bagi masyarakat ingin menikmati manfaat asuransi syariah yang ada di pasaran.

 

Apa itu asuransi syariah?

Pada dasarnya yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional adalah prinsip yang digunakan. Prinsip asuransi syariah terdapat tolong-menolong, misalnya bila terjadi suatu risiko terhadap nasabah, santunan yang dibayarkan adalah berupa dana Tabarru’ atau yang juga dikenal dengan sebutan risk sharing dalam dunia asuransi.

 

Asuransi berdasarkan hukum asuransi syariah juga memiliki perbedaan dengan asuransi konvensional, seperti dalam hal masa kontrak, pengelolaan dana asuransi, pengawasan, dan kepemilikan dana.

Asuransi konvensional biasanya cenderung memiliki peraturan yang menguntungkan perusahaan mengingat dalam jenis asuransi ini tentu saja tujuan perusahaan adalah mencari profit.

 

Dalam asuransi jiwa syariah, perusahaan menjamin bahwa dana dari nasabah tidak akan digunakan untuk membiayai atau berinvestasi di bidang yang bertentangan dengan syariat, seperti produk tembakau untuk rokok dan minuman keras.

 

1. Akad dalam asuransi syariah

Akad dalam asuransi syariah adalah keterikatan antara nasabah asuransi dengan perusahaan asuransi. Akad dalam asuransi syariah bahkan secara tegas menolak unsur perjudian (maysir), penipuan (gharar), riba, penganiayaan (zhulm), dan suap (risywah), serta barang haram dan hal yang terkait maksiat.

Beberapa akad yang digunakan dalam asuransi berdasarkan hukum asuransi syariah meliputi:

  • Akad Tijarah yang bertujuan komersial, yaitu dengan melakukan investasi dari premi nasabah,
  • Akad Tabbaru’ yang dilakukan berdasarkan prinsip saling tolong-menolong.
  • Akad Wakalah bil Ujrah yang memberikan wewenang kepada penyedia asuransi dalam mengelola dana proteksi atau investasi milik nasabah.

 

2. Prinsip dasar asuransi syariah

Prinsip penerapan pertanggungan menjadi faktor dasar sebagai pembeda asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Dalam asuransi syariah, nasabah akan tolong-menolong dalam berbagi risiko melalui iuran Tabbaru’ yang dikumpulkan dan akan digunakan untuk membiayai nasabah yang memang membutuhkan.

 

Prinsip asuransi syariah secara umum menaruh perhatian khusus pada para pelanggannya untuk bisa bersatu dalam tolong-menolong. Prinsip ini juga sekaligus diharapkan akan membentuk rasa kasih sayang dan kekeluargaan yang kuat berkat usaha saling bantu sesama nasabah asuransi.

 

Dasar Hukum Asuransi Syariah

 

Meski cukup banyak diminati dan didukung penuh oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya, hukum dasar asuransi syariah tetap dipertanyakan. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap asuransi berdasarkan hukum asuransi syariah belum sepenuhnya halal.

Pemerintah bersama lembaga keuangan terkait, terutama yang berbasis syariah dan MUI terus mengedukasi masyarakat tentang jenis dan manfaat asuransi ini.

 

  1. Dasar hukum di dalam Al Quran

Asuransi syariah memiliki dasar-dasar yang juga ada dalam hadis dan ayat dalam Al Quran, yaitu:

Al Maidah 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

  • An Nisaa 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap mereka.”
  • HR Muslim dari Abu Hurairah: “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat.”
     
  1. Dasar hukum menurut fatwa MUI

Pada dasarnya, asuransi syariah justru hadir sebagai solusi dari anggapan bahwa esensi asuransi bertentangan dengan syariat agama dan prinsip-prinsip di dalam agama itu sendiri. Itu sebabnya mulai 2001, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa asuransi syariah secara sah diperbolehkan dalam ajaran Islam.

Beberapa fatwa MUI yang mempertegas kehalalan asuransi syariah adalah:

  • Fatwa No 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.

Fatwa No 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah

  • Fatwa No 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah
  • Fatwa No 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah.

 

  1. Dasar Hukum dari Peraturan Menteri Keuangan

Asuransi syariah juga sudah diatur operasional dan keberadaannya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah.

Adapun beberapa ketegasan dasar hukum dari Pemerintah ini bisa dilihat di BAB I, Pasal I nomor 1 hingga 3, yaitu:

  1. Pasal 1 Nomor 1

Asuransi berdasarkan prinsip Syariah adalah usaha saling tolong-menolong (ta’awuni) dan melindungi (takafuli) di antara para nasabah melalui pembentukan kumpulan dana (tabbaru’) yang dikelola dengan prinsip syariah untuk menghadapi risiko tertentu.

  1. Pasal 1 Nomor 2

Perusahaan adalah perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah.

  1. Pasal 1 Nomor 3

Nasabah adalah orang atau badan yang menjadi nasabah program asuransi dengan prinsip Syariah, atau perusahaan asuransi yang menjadi nasabah reasuransi dengan prinsip syariah.

 

Perlindungan yang ditawarkan melalui asuransi syariah kini sudah jelas bahwa hukumnya halal sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Di samping itu, tiap perusahaan asuransi yang memiliki produk berbasis syariah turut memiliki anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas memastikan semua produk syariah dijalankan dengan mengikuti syariat.

 

Perbedaan antara asuransi syariah dan konvensional

 

Asuransi syariah dan konvensional memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Satu hal yang membedakan adalah soal prinsip dasarnya.

 

Asuransi konvensional merupakan kesepakatan dua pihak atau lebih untuk menyediakan jaminan akan sesuatu yang dijanjikan. Sementara asuransi berdasarkan hukum asuransi syariah menjunjung tinggi asas tolong-menolong dengan dana Tabarru. Nah, dana Tabarru sendiri merupakan dana yang didapat dari peserta asuransi, bukan dari perusahaan penyedia asuransi.

 

Dana inilah yang nantinya digunakan untuk memberikan santunan kepada peserta yang mengalami musibah, sakit, atau meninggal dunia. 

Selain itu, asuransi syariah gak mengenal dana hangus seperti yang kamu temukan di asuransi konvensional. Pada sistem asuransi syariah, perusahaan asuransi juga tidak diperkenankan berinvestasi yang bertentangan dengan prinsip syariah atau investasi di tempat terlarang alias haram.

 

Karakter asuransi syariah 

 

Dengan kriteria di atas, kamu pasti sudah dapat membayangkan bagaimana sistem kerja asuransi berdasarkan hukum asuransi syariah. Tentu saja model asuransi yang satu ini juga memiliki beberapa karakter, yaitu:

  1. Unsur tolong-menolong

Dengan istilah dana Tabarru, asuransi syariah jelas mengedepankan unsur tolong-menolong. Dana kumpulan peserta digunakan sebagai pinjaman kepada yang membutuhkan karena tolong-menolong. Jelas tidak ada unsur paksaan dalam hal ini.

  1. Dana hangus tidak ada

Dalam dunia asuransi, dana yang tidak diklaim hingga masa tanggungan habis akan hangus. Hal ini gak akan terjadi dalam asuransi syariah. Dana yang telah disetorkan akan dikembalikan kepada peserta setelah dipisahkan dari rekening tabarru-nya.

  1. Pakai akad

Asuransi syariah mengenal istilah akad atau mengikat peserta asuransi dengan perusahaan asuransi tersebut. Akad dalam hal ini kontrak perjanjian diatur sesuai hukum syariat.

Kamu gak akan menemukan unsur  gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat. Tujuan akad bukanlah bisnis melainkan saling tolong-menolong.

 

Sumber: https://lifepal.co.id/media/dasar-hukum-asuransi-syariah/

 

Share this article:

Berdasarkan Kategori

Label